Hari gini masih ada organisasi mahasiswa yang eksklusif? Eit, jangan
salah. Buka mata lebar-lebar. Di era keterbukaan dan keragaman Indonesia
macam sekarang, sensitivisme keakuan organisasi di level manapun masih
merajai. Sebut saja partai politik. Lembaga ini selayaknya menjadi
perwakilan seluruh aspirasi masyarakat Indonesia yang beragam dari
Sabang sampai Merauke di tingkat parlemen. Maka tak heran jika negeri
kita tercinta menganut sistem multipartai.
Indonesia yang terdiri dari sekian ratus suku, bahasa, dan kebudayaan
tidak bisa dipaksakan untuk mengarus pada dua poros, buruh dan
republik, seperti halnya Amerika yang berkultur industri. Kebhinekaan
Indonesia mengarahkan negeri ini untuk tidak hanya dapat diwakili
afiliasinya oleh dua partai karena memang unsur perbedaan tujuan dan
cara menjadi ragam yang wajar untuk mewujud dalam banyak partai.
Demikianlah realitas demokrasi yang mesti kita terima dan syukuri
sebagai kesempatan berkembang. Freedom of Association yang
demikian, kata Jimly Asshidiqie, bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi
mereka yang memahami bagaimana pemanfaatan keragaman tersebut.
Yang mengherankan yakni apabila satu atau masing-masing partai
politik itu mengklaim bahwa ialah yang terbaik dan tidak membutuhkan
partai lain dalam mengisi kepemimpinan negeri ini. Nonsense. Kemenangan
salah satu partai politik dalam kancah nasional tidak mungkin berujung
pada kekuasaan tunggal partai tersebut dalam memimpin. Dibutuhkan grup
koalisi yang menguatkan sang pemenang dan grup oposisi sebagai
penyeimbang dan pengontrol.
Hal ini berlaku pula pada gerakan mahasiswa. Mahasiswa yang telah
mengelompokkan diri dalam satu afiliasi visi yang sama akan bergerak
sinergis dengan apa yang menjadi visi dan ideologinya dalam sebuah wadah
organisasi. Tentu saja tidak semua ormawa (organisasi mahasiswa)
memiliki corak gerak yang sama. Sesungguhnya, kekayaan gerak itu mampu
menjadi pelengkap yang kian menyempurnakan gerak perubahan dan perbaikan
masyarakat, jika itu disadari.
Namun, tak jarang rupanya, pergerakan mahasiswa yang menginduk ‘ayah
semangnya’ di parlemen (parpol). Ia seolah tak ingin memiliki pesaing
dalam memimpin negara kecilnya di kampus ataupun luar kampus. Sinisme
semacam ini rawan menimbulkan aksi saling menjatuhkan yang kurang sehat
dan malah membuat lalai dari tujuan awal meretas perubahan masyarakat.
Tidak ada kerja sama. Tidak boleh bersentuhan ranah. Branding nama
organisasi pibadi-lah yang paling utama, dll.
Eksklusivitas gerakan mahasiswa demikian sama sekali tidak
menunjukkan kedewasaan organisasi. Realitas masyarakat masa kini mewajah
dengan segala kompleksitas masalah yang menuntut tidak hanya satu tipe
corak gerakan mahasiswa saja. Itu patut disadari oleh para pemuda yang
menisbatkan diri dalam dunia pergerakan. Konsekuensinya, ada dua hal.
Pertama, setiap gerakan mahasiswa sedapat mungkin mampu mengkover
kebutuhan masyarakat secara general dan utuh. Tetapi perlu diingat, ini
bukan suatu nilai mutlak. Harus ada memang organisasi mahasiswa yang
mengkarakterkan diri sebagai gerakan yang general seperti itu. Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, KAMMI, contohnya. Tidak hanya bergerak
di ranah sosial-politik, KAMMI mewujudkan dirinya sebagai organisasi
yang ingin mengusung Islam pada tataran bangsa dan negara. Intinya,
landasan gerakannya pun terpondasi oleh Islam, pun demikian segala
pendekatan dan metode yang diejawantahkan organisasi ini. Selain itu,
KAMMI juga mewadahi munculnya aksi-aksi di bidang skill khusus dalam
gerakannya. Hal-hal tersebut mengarahkan subjektivitas penulis pada
pendapat bahwa KAMMI layak menjadi contoh organisasi yang ranah
gerakannya general dan luas.
Di sisi lain, fakta mengatakan bahwa tidak semua organisasi mahasiswa
bergerak dalam payung yang lebar. Sangat banyak ormawa dalam maupun
luar kampus yang memiliki spesialisasi gerak, dalam bidang jurnalistik,
lingkungan, dll, misalnya. Nah, fakta ini sepatutnya menyeret kita pada
pemahaman akan konsekuensi kedua yakni seruan untuk ormawa agar mampu
bergerak juga dalam orbit keselarasan dengan ormawa lain. Poinnya tidak
jauh dari hal yang telah sebelumnya diungkapkan yakni untuk memperkaya
varian gerakan kita di dunia sosialita masyarakat.
Ekslusivitas gerakan, dalam sisi tertentu, masih harus dijaga oleh
setiap ormawa. Namun, pembahasaannya tidak serupa dengan eksklusif dalam
artian antipati terhadap gerakan lain. Tepatnya, ormawa sebisa mungkin
menjaga karakter dasar gerakannya. Kekhasan gerak organisasi tetap
menjadi amanah bagi tiap-tiap penggeraknya untuk dilestarikan. Sedangkan
inklusivitas dalam arti keterbukaan juga tidak wajar jika dimaknai
meleburkan nilai dan pondasi organisasi demi suatu kepentingan atau
keinginan untuk diterima yang mengakibatkan rusaknya karakter dan citra
organisasi.
Masyarakat secara kasat pasti sudah terlampau jenuh dengan
gontok-gontokkan di parlemen sana yang pada ujungnya melupakan mereka
yang juga bagian dari unsur negara. Gerakan mahasiswa sepatutnya
memberikan rona segar dan harapan bahwa kita berbeda. Tujuan sama untuk
mensejahterakan kehidupan bangsa, salah satunya, kita realisasikan
dengan cara yang berbeda dan dewasa. Bukan dengan menunjukkan adigdaya
namun dengan semangat perbaikan dan kebersamaan. Ketakutan akan kekuatan
lain di luar organisasi kita sehingga muncul upaya menghalangi gerakan
lain untuk tumbuh bukan mental ormawa pejuang. Perlu dicatat, statemen
ini tidak berlaku bagi gerakan yang memang nyata mengusung proyek
perusakan seperti liberalisasi, sekularisasi, hedonisme, dan
kawan-kawannya. Sebaliknya, keyakinan akan nilai yang terinternalisasi
pada diri gerakan kitalah yang semestinya terus dikuatkan dengan tetap
memberi kesempatan ormawa lain berkembang dengan gerak perbaikan
khasnya.
Organisasi mahasiswa yang dewasa adalah organisasi yang melejit
dengan kiprahnya tapi juga mampu menstimulus gerakan lain untuk
berkembang. Dari KAMMI untuk Indonesia dan dunia.
*Sofistika Carevy Ediwindra
Sekretaris Umum KAMMI MADANI
http://kammimadani.wordpress.com/2012/11/05/eksklusivitas-gerakan-mahasiswa/