A: Kamu punya uang seribu nggak?
B: Punya. Emang kenapa? Buat apa?
A: Aku minta, dong. Kan buat bayar parkir di hatimu.
***
Petikan dialog di atas saya kutip dari tayangan kuis di salah satu
stasiun TV swasta Jum’at (7/9). Awalnya, A selaku MC menanyakan
keahlian apa yang dimiliki peserta B. Dengan pede B menjawab bahwa dia ahli dalam menggombal. Sejurus kemudian, A pun meminta B membuktikannya.
Kejadian serupa ternyata tidak hanya dilakukan A. Peserta lain yang
juga laki-laki ternyata banyak pula yang mengikuti jejak A. Padahal
mereka tak janjian sebelumnya. Mereka mengakui “menggombal” sebagai
kelebihan atau keahliannya.
“Gila ya! Nggombal udah dianggap keahlian. Kok nggak ada yang
kelebihannya pintar ngaji atau hal yang lebih manfaat lagi, ya?”
komentar teman saya.
Mendengar celetukan itu, saya menjadi merasa perlu membahas hal ini.
Ya, perlu karena sejauh yang saya pahami memang meggombal itu memiliki
dua sisi: positif dan negatif. Jadi, waspadalah! Waspadalah!
Gombalisme; Don’t(s) and Do(s)
Aktifitas “menggombal” semacam itu konon makin naik daun setelah
dipopulerkan di satu acara komedi yang rutin ditayangkan stasiun TV
swasta di negeri ini. Karena ratingnya yang tinggi, budaya menggombal
pun banyak diduplikasi, khususnya di kalangan generasi muda. Ironisnya
budaya ini kalau tidak dimanage dengan baik bisa semakin
menyuburkan pergaulan bebas. Bukan tidak mungkin bombardir gombalan dari
si penggombal ulung membuat si target klepek-klepek jika tak pandai menjaga diri. Artinya, menggombal ini memang rawan malpraktik.
Demi memahami hakikat menggombal, maka ada baiknya kita mengkajinya secara cover both side.
Namun, sebelum menuju ke sana makna asal “gombal” atau “menggombal” pun
penting tak kalah penting untuk diketahui. KBBI telah mencantumkan
definisinya sebagai berikut:
1gom·bal n kain yg sudah tua (sobek-sobek)
2gom·bal n cak bohong; omong kosong: rayuan –;
gom·bal·an n ucapan yg tidak benar, tidak sesuai dng kenyataan; omongan bohong: ~ developer yg berbahaya adalah beredarnya berbagai brosur yg menawarkan kondominium dan perumahan supermewah
gom·bal·an n ucapan yg tidak benar, tidak sesuai dng kenyataan; omongan bohong: ~ developer yg berbahaya adalah beredarnya berbagai brosur yg menawarkan kondominium dan perumahan supermewah
(Dikutip dari: KBBI Daring)
Kalau berhenti sampai di sini, maka tentu menggombal bukanlah suatu
hal yang terpuji. Ternyata dalam istilah Bahasa Jawa tak jauh beda
memandang perkara ini.
Menanggapi definisi dasar dan fenomena yang memang banyak terjadi
berkaitan dengan ini, maka saya sepakat kembali mendudukkan perkara ini
kepada hakikat dasar. Artinya, memang mau bagaimana pun menggombal itu
tetaplah sebuah “omongan sampah” alias tak penting, bahkan cenderung
berakibat negatif. Tapi perlu ditekankan sekali lagi, menggombal ini
mutlak tidak baik manakala dilakukan oleh dan kepada orang yang tidak
berhak. Hal ini terkait permasalahan waktu atau konteks pemakaian maupun
hubungan personal orang yang terlibat.
Lalu, adakah menggombal yang dibolehkan? Tentu ada. Mungkin sebagian
dari kita pernah membaca keterangan dari Nabi Muhammad SAW berikut:
Dari Asma’ binti Yazid dia berkata: Rosululloh SAW bersabda:
“Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal (yaitu) suami pada
istrinya agar mendapat ridho istrinya, bohong dalam perang, dan bohong
untuk mendamaikan diantara manusia”. (HR At-Tirmidzi. Derajat hadits: hasan)
Ada beberapa hadits Nabi lain yang senada dengan hadits di atas.
Intinya, tidak mengapa kita melebih-lebihkan ucapan kita sehingga tidak
sesuai kenyataan (menggombal) dalam konteks tertentu. Dalam hal ini,
menggombal di antara pasangan suami-istri demi mempertahankan
keharmonisan rumah tangga ternyta dibolehkan dalam Islam. Dan perlu
dicatat, bahwa ini tidak bertentangan dengan dalil umum tentang larangan
berbohong. Para ulama telah membahas hal ini, salah satunya ialah
Ath-Thobari, yang menyatakan:
“Pada asalnya tidak boleh berbohong dalam sesuatupun. Adapun
adanya pembolehan untuk berbohong maka maksudnya adalah tauriyah,
menggunakan ungkapan-ungkapan (diplomatis), dan tidak terang-terangan
berbohong. Misalnya, memuji istrinya, berbuat baik padanya, dan akan
memberikan padanya pakaian yang demikan, jika Allah mentaqdirkannya.
Walhasil hendaklah menggunakan kalimat-kalimat yang muhtamalah (yang
mempunyai beberapa maksud), orang yang diajak bicara akan memahaminya
dengan sesuatu yang menentramkan hatinya. Jika berusaha untuk
mendamaikan diantara manusia maka menukil dari satu pihak kepada pihak
yang lain dengan perkataan yang baik, demikian juga sebaliknya dari
pihak yang ini kepada pihak yang lain. Begitu juga dalam perang dengan
mengatakan, ‘Pemimpin besar kalian telah mati’, diniatkan untuk pemimpin
mereka yang pada zaman terdahulu. Para ulama yang berpendapat demikian
menta’wilkan kisah Ibrahim, Yusuf, dan yang semisalnya adalah
kalimat-kalimat diplomatis, wallahu a’lam. Adapun berbohongnya suami
pada istrinya dan juga sebaliknya maka maksudnya adalah menampakkan
kasihsayang, janji yang tidak mengharuskan terlaksana, dan yang seperti
itu, adapun tipu muslihat untuk mencegah kewajiban suami atau istri,
atau mengakui apa yang tidak dimiliki oleh suami atau istri maka ini
adalah haram menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Menggomballah pada Waktunya
Sebagai penutup, maka di sini perlu ditegaskan kembali bahwa tak
sepatutnya kita selalu mengikuti apa yang kita lihat di layar kaca.
Sekalipun hal itu sudah populer di masyarakat umum, jika bertentangan
dengan prinsip agama, maka sebaiknya kita tak hanyut dalam arus.
“Gombalisasi” yang marak dilakukan kalangan muda demi menggaet si do’i
bukanlah suatu perkara yang baik. Selain karena memang belum ada ikatan
sah di antara pelaku dan target penggombalan, juga karena tak ada
“payung hukum” syar’i yang menganjurkan bahkan membolehkannya. Malahan
di balik itu tersimpan potensi cukup besar bagi terciptanya hubungan
“ilegal” di mata agama. Sebaliknya, kalau mau menggombal yang tidak
dilarang, maka menikah adalah pintu gerbangnya. Namun perlu diingat,
menurut penulis, tetaplah lebih baik kita tidak membiasakan diri
menggombal terhadap pasangan kita. Toh dalam hadits dikatakan
bahwa hal itu masuk kategori “dibolehkan”, bukan “dianjurkan”. Artinya,
jika masih ada alternatif selain menggombal, maka itu tetap lebih baik.
RM, 9 September 2012
Oleh: Nur Afilin (Kadep Humas dan Kajian KAMMI Madani)
sumber : http://kammimadani.wordpress.com/2012/09/09/gombalisme/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar, kritik, dan saran untuk kemajuan bersama. Terima Kasih.