Masih ingatkah bahwa negara kita terkenal dengan sebutan negara agrarisnya? Apa kaitannya dengan konstitusi agraria?
Dikatakan oleh Yance Arizona, SH., MH., dalam kuliah online Jimly
Schoolnya (Selasa, 11/9) bahwa konstitusi agraria terkait dengan
mempelajari/melihat konstitusi (hukum) dari segi agraria. Pun, dalam hal
ini berlaku pula mempelajari hal terkait agraria dari segi konstitusi.
Pengertian ini menyiratkan makna keluasan tafsir studi konstitusi, tidak
melulu terkait dengan politik semata.
Termaktub dalam undang-undang kita perihal agraria yakni dalam pasal
33 ayat 3 UUD 1945. “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.” Yance menjelaskan bahwa terdapat dua hal yang
menjadi pemaknaan dari pasal terseut. Pertama, tentang objek penguasaan.
Bumi, air, dan segala kekayaan di dalam suatu negara merupakan objek
yang dikuasai/menjadi hak suatu negara. Kedua, tentang penguasaan itu
sendiri. Pasal ini mengatur hubungan penguasaan sumber daya tersebutu
yakni terhadap negara dan masyarakat.
Jika menilik pada kenyataan di lapangan, Yance menyitir sangat
banyaknya kasus agraria mengemuka. Salah satunya yakni oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN). BPN bulan Juli 2011 menyatakan angka 14.337
kasus mencuat tentang sengketa tanah. Dari sekian banyak kasus,
terhitung 10% saja yakni 1.300an kasus yang terselesaikan.
Negeri kita tercinta ini telah lama pula mengangkat isu agraria.
Tahun 1930 muncul pledoiIndonesia Menggugat oleh Soekarno. Ia
mengguncang UU Agraria kolonialisme yang sering mengakibatkan masyarakat
pribumi kehilangan tanahnya. Tan Malaka juga di tahun 1926 mengeluarkan
buku Menuju Republik Indonesia yang mengandung arahan unsur penguasaan
terhadap lahan perkebunan.
Kembali menilik pasal 33 UUD 1945, Yance mengklasifikasikan
tentangnya dua hal. Pertama, tiga ayat pertama pasal tersebut (ayat 1-3)
masih ada namun nuansanya tidak muncul di lapangan. Kedua, justru dari
pasal 33 tersebut, ayat 4lah yang mendominasi. Di dalamnya terdapat kata
kunci ‘efisiensi berkeadilan’ dalam penyelenggaraan perekonomian
nasional. Indikasi dari frase tersebut dalam mengarah pada pemaknaan
bahwa perekonomian yang tidak efisien tidak akan menciptakan keadilan.
Begitupun sebaliknya. Hal ini, kembali menurut analisis Yance, merupakan
penafsiran yang rawan membahayakan dalam tataran eksekusi di lapangan.
Sedikit membahas tentang perekonomian bangsa, Yance membawa pada
analisis tentang nuansa ekonomi tanah air. Dalam dekade sekarang ini,
kubu ekonomi liberal menjadi dominan di kehidupan Indonesia. Boediono,
Sri Mulyani, dan beberapa yang lain menduduki posisi strategis dalam
tata ekonomi tanah air. Gubernur BI menjadi wilayah gerak terdahulu
Boediono sebelum kini di kursi RI2. Begitu juga dengan Sri Mulyani yang
pernah menjabat menjadi orang nomor wahid dalam keuangan RI. Ini
menyebabkan kebijakan yang bergulir dalam perekonomian pun mengikuti
nuansa background pengusungnya (ekonomi liberal).
Konstitusi agraria, termasuk di dalamnya mengenai wilayah suatu
negara. Selain menjadi ranah internasional negara yang berbatasan,
masalah wilayah juga masuk dalam hal keagrariaan. Sebagai contoh, kasus
perebutan pulau Indonesia dengan Malaysia atau negara lain. Ini
menyangkut soal tanah, wilayah, dan segala sumber daya yang berada di
dalamnya. Masalah ini, seyogyanya tidak hanya melibatkan institusi
terkait kisruh batas negara saja. Bijaknya, dalam menyelesaikan kasusu
perebutan pulau/wilayah ini melibatkan masyarakat yang mendiaminya.
Merekalah pihak paling dekat dalam kaitannya dengan kebersediaan menjadi
bagian dari negara A atau B.
Masalah lain terkait agraria juga tidak asing di telinga kita. Kasus
Mesuji contohnya. Dalam kasus perebutan tanah, pemekaran wilayah,
penggunaan tanah masyarakat untuk umum, dll sering mengalami chaos dalam
penyelesaiannya antara pemerintah (pusat/daerah) dengan masyarakat.
Bukan hanya permasalahn tumpulnya taring konstitusi yang mengatur, tapi
juga ketidakberesan penyelesaian masalah ini terkait kurang cakapnya
oknum. Sekali lagi, Yance menekankan perlunya pendekatan dan pelibatan
masyarakat langsung dalam hal penyelesaian kasus serupa dalam kaitannya
dengan agraria.
Oleh: Sofistika Carevy Ediwindra (Kadep Pemberdayaan Perempuan KAMMI Madani)
Sumber : http://kammimadani.wordpress.com/2012/09/13/lebih-dekat-dengan-konstitusi-agraria/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar, kritik, dan saran untuk kemajuan bersama. Terima Kasih.