Surat Cinta Untuk Kader-Kader Bangsa,
Terkhusus untuk semua Pejuang se-Pergerakan KAMMI tercinta...
Anda
boleh sepakat atau tidak dengan saya, namun ya, saya akan mencoba untuk
memaparkan hasil perenungan dan refleksi saya tentang bagaimana kita
akan membangun dan memperbaiki bangsa ini. Mungkin utopis, atau mungkin melankolis, dan
mungkin terkesan seperti seorang yang seporadis, setelah frustastasi
karena kehabisan cara. Tapi lagi-lagi saya ingin mencoba memaparkan apa
adanya –tentang cinta dan indonesia- setelah berbagai
jargon perubahan, reformasi, atau revolusi kandas, dan hanya menjadi
medan kata-kata saja dalam konteks perbaikan bangsa. Dan saya rasa saat
ini menjadi momentum yang tepat bagi kita untuk bersama-sama
merefleksikan masalah kebangsaan dan ke-Indonesiaan kita.
CINTA, inilah
mungkin kata terakhir yang bisa menyelamatkan bangsa ini. Betapa tidak,
cinta memiliki makna yang dalam bagi sebagian orang –dan banyak orang
yang meng-iyakan demikian-. Dan dengan energi cinta inilah, seseorang
biasanya akan memiliki daya dobrak yang luar biasa untuk melakukan
sesuatu. Asam di gunung dan garam di laut pun akan bertemu atas dasar
cinta –demikian kata pujangga amatir penggiat sajak-sajak cinta-, tapi
ya memang demikianlah adanya. Malas, capek, dingin, suntuk, -dan
sederetan kata-kata yang lain yang tidak meng-enak-kan jiwa dan raga-
akan hilang seketika dan berubah menjadi energi kebangkitan, karena energi cinta.
Atas dasar cinta juga, Napoleon Bonaparte bertekuk lutut dengan
wanita-wanita yang ia cintai. Dan atas dasar cinta pula, Datuk Khalid,
seorang milyader di Malaysia bersedia menghambur-hamburkan jutaan dollar
yang selama ini ditumpuk, untuk sebuah pesta pernikahannya dengan artis
cantik negri jiran, Siti Nur Haliza. Demikianlah, seringkali energi cinta berbanding lurus dengan dengan semangat pengorbanan. Namun
yang menjadi masalah adalah, mengapa ketika kita berbicara tentang
cinta selalu saja identik dengan wanita. Nah, pada kesempatan ini saya
akan mencoba mengajak untuk memaparkan tentang cinta dan semangat
kebangsaan kita.
Berbicara
mengenai Indonesia, tentu yang akan tergambar dalam benak kita adalah
sederetan masalah kebangsaan, kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan
yang carut marut, sampai kita juga malas memikirkannya. Dan demikianlah
adanya, semangat untuk memikirkan dan peduli kepada bangsa ini sudah
layu dan menggerogoti sebagian besar rakyat Indonesia sendiri di semua
level. Masing-masing hanya memikirkan bagaimana dirinya bisa survive, dan bagi mereka yang sudah sudah bisa survive semangat berikutnya adalah semangat untuk menguasai –untuk kepentingan diri sendiri-.
Kita
bisa menyaksikan fenomena ini dengan sangat gamblang, ketika kita
mencoba untuk berbicara dengan rayat kecil yang senantiasa tertindas,
mereka sudah tidak mau memikirkan kenapa dan siapa yang sebenarnya
selama ini menindasnya. Padahal kita tahu, kemiskinan yang terjadi di
negri ini sebenarnya adalah kemiskinan struktural yang memang dibuat dan
dibiarkan oleh sebagian orang. Tapi saat ini ’rakyat’ sudah tak acuh
lagi dengan persoalan itu. Ini bisa terlihat ketika kita
kita bertanya kepada mereka tentang harapan untuk bangsa dan negara ini,
mereka pasti akan menjawab dengan serempak, yang penting saya bisa makan setiap hari, -cukup-. Tidak
ada lagi harapan dari mereka untuk negara agar mereka bisa mengayomi
kehidupan mereka. Atau yang lebih ekstrem adalah ketika saya bertemu
dengan salah seorang aktivis gerkan di Solo ini. Dia mengatakan, mungkin
saat ini sudah tidak perlu lagi ada negara. Karena kita bisa
menyaksikan setiap hari secara kasat mata, kenapa para gepeng, pengemis,
dan glandangan selalu ada dari tahun ke tahun, seakan tidak pernah ada
penanganan dari negara. Dia merasakan ada dan tidak adanya negara sama
saja. Tidak adalagi tempat bagi rakyat untuk bernaung.
Saya
tidak sedang ’ber-genit-ria’ yang sedikit-sedikit menyalahkan
pemerintah atau negara. Karena kalau kita renungkan dengan sebenarnya,
sebenarnya semua pihak telah menanamkan investasi kerusakan dinamika
kebangsaan kita. Mulai dari pemerintah, eksekutif, legislatif, politisi,
hakim, polisi, tokoh masyarakat, peengusaha dan rakyat itu sendiri.
Masing-masing telah menanam investasi kerusakan tersebut. Untuk kasus
pemerintah, politisi, atau pengusaha, sudah banyak dan sering kita
dengan cerita-cerita kebengisan dan penghianatannya pada bangsa ini.
Namun tidak hanya mereka, rakyat pun juga telah menanam benih kerusakan
negri ini. Betapa banyak hutan yang rusak karena ilegal loging. Betapa
sering setiap hari kita jumpai lingkungan yang kumuh, penuh sampah,
hunian liar, dll. Kalau seperti ini siapa yang bersalah?? Pemerintah
atau pak hakim? Tentu tidak, Jadi saya ingin meluaskan konteks kerusakan
pada bangsa ini dalam konteks yang lebih luas. Adhiyaksa Dault
menyebutkan bahwa prilaku masyarakat yang tidak mencintai lingkungan itu
merupakan salah satu wujud tidak dimilikinya rasa nasionalisme
seseorang atau tidak dimikinya rasa cinta bangsa ini terhadap tanah
airnya.
Terus
apakah kita lantas hanya akan berpangku tangan menyadari negri kita
yang demikian? Tentu tidak! Dan banyak orang juga sudah yang berbicara,
berkomentar, dan meneriakkan berbagaimacam jargon-jargon. Namun kenapa
kondisi tetap demikian. Nah, kali ini penulis akan mencoba memberikan
solusi dari berbagai masalah yang ada dalam bangsa ini. Ketika jargon-jargon perubahan-reformasi dan revolusi tidak mempan lagi untuk memperbaiki bangsa ini. Maka kita harus mencari resep baru perbaikan bangsa dan umat ini!
CINTA. Inilah mungkin resep mujarap yang bisa mengobati sakitnya bangsa ini. Dengan cinta inilah
kiranya semua pihak akan bisa tergerak. Tergerak untuk saling menolong,
tergerak untuk saling peduli, tergerak untuk bersama-sama dalam satu
gerakan bersama –perbaikan bangsa-. Karena dengan cinta ini seseorang
terdorong untuk menyayangi, merawat, dan saling mengasihi.Rasa itulah
yang saat ini harus ditumbuhkan lagi pada semua level bangsa ini. Cinta
keapada sesama, sehingga semua orang akan terdorong untuk saling
membantu, dan tidak ada lagi pejabat yang korupsi memakan uang rakyat,
karena cinta nya kepada sesama. Mereka yang bekerja pada bidang
pekerjaannya masing-masing pun akan bekerja dengan tulus, dengan
semangat untuk melayani dan membangun. Cinta kepada lingkungan, -bumi
Indonesia yang saat ini kita tempati-, sehingga tidak ada yang menebang
pohon sembarangan, tidak ada lagi yang membuang sampah di semarang
tempat, tidak ada yang mengotori sungai, dsb. Cinta kepada Identitas
bangsa, sehingga semuanya 'pede' dengan budaya kita dan tidak terjerumus
kepada budaya asing yang seringkali memberikan pengaruh negatif kepada
kita. Cinta kepada produk-produk dalam negri, sehingga kita akan
mengutamakan membeli produk dalam negri dari pada produk-produk impor.
Pokoknya cinta-cinta dan cinta kepada bangsa ini, kepada Indonesia kita,
merah putih nya, tumpah darahnya. Orang sering menyebut cinta kepada
bangsa dengan istilah Nasionalisme. Sehinga virus nasionalis ini yang
perlu kita sebarkan segera. Mendesak, dan sangat mendesak...!!!
NASIONALISME, cinta
terhadap bangsa dan tanah air: inilah mungkin resep mujarap dari ramuan
cinta yang bisa mengobati sakitnya bangsa ini. Inilah kiranya sikap
yang perlu ditumbuhkan kembali pada bangsa ini-pada semua level.
Pejabat, rakyat, pemuda, tokoh masyarakat, hakim, guru, aparat desa,
polisi, pengusaha, karyawan: rasanya semuanya perlu mencoba ramuan ini.
Kenapa demikian, karena dengan spirit nasionalisme inilah bangsa ini
bisa bersatu, karena dengan spirit nasionalisme inilah pejuang-pejuang
terdahulu bisa menyatukan barisan mengusir penjajah, karena dengan
spirit nasionalisme inilah Bung Karno bisa memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia, dengan segala harapannya saat ini, -memperoleh kemerdekaan
sejati-.
Nah, kalu begitu saatnya sekarang kita
bisa menggunakan senjata nasionalieme untuk mengusir penjajah kita saat
ini yang banyak menyengsarakan rakyat. Sudah saatnya kita harus
menumpas kemiskinan, sudah saatnya kita menghadang laju kebodohan, sudah
saatnya kita melawan korupsi, sudah saatnya kita menegakkan supremasi
hukum yang memberikan keadilan bagi rakyatnya, sudah saatnya kita
wujudnkan kesejahteraan rakyat yang akan memakmurkan bangsa, dengan
semangat nasionalisme...!!
NASIONALISME-ISLAM. Yang
menjadi pertanyaan kita selanju
tnya adalah, sebagai seorang muslim
bagaimana kita akan memandang nasionaliseme dalam konteks Islam. Apakah
nasionalisme bertentangan dengan prinsip Islam? Sebelum saya memaparkan
lebih banyak tentang hal ini, sebenarnya saya tidak ingin banyak
terjebak pada wilayah dialektika pada ruang-ruang epistimologi tentang
nasionalisme islam itu sendiri. Sebagaimana Hasan Al Banna ketika
memaparkan pandangannya terhadap maslah Islam dan politik, Islam dan
negara, Islam dan demokrasi, atau Islam dan nasionalieme
itu sendiri. Hasan Al Banna menyatakan bahwa politik adalah bagian
integral dari Islam itu sendiri, sekalipun beberapa kalangan menyebutkan
bahwa politik itu adalah hal yang bersinggungan dengan masalah
kekuasaan dan perebutan kekuasaan, bahkan mereka menyebutkan bahwa
politik itu kotor. Tetapi Al Banna memiliki pemikiran yang berbeda.
Bahwa politik dalam Islam adalah segala daya dan upaya yang berujung
pada kemaslahatan umat. Dalam kesempatan lain Al Banna juga
menyampaikan, kalau aktivitas yang dilakukan untuk kemaslahatan itu
dikatakan aktivitas politik, ya itulah politik kami. Dan jika
orang-orang yang bekerja untuk kemaslahatan umat itu disebut politikus,
ya kita-lah politikus itu. Bisa kita simpulkan, jika orang-orang yang
berkomitmen pada perbaikanbangsa ini disebut sebagai nasionalis, ya
kitalah nasionalis itu.
Semangat
nasionalisme ini menurut hemat penulis tidak bertentangan dengan nilai
dan ajaran Islam. Memang betul, konsep nasionalisme Islam adalah
nasionalisme aqidah, dan bukan nasionalisme sempit yang dibatasi ruang
dan waktu geografis. Dalam artian dimana ada seorang yang menyatakan laillahailallah maka
disitulah tanah air kita. Itulah konsep nasionalisme Islam.Nasionalisme
Islam bukanlah jargon yang kering dan tanpa ruh. Namun nasionalisme
Islam dilandasi atas kesatuan aqidah, yang dengannya akan menumbuhkan
ukhuwah dan kebersamaan.
Namun,
bukan berarti kita tidak diperbolehkan untuk mencintai tanah air, dalam
pengertian secara geografis. Bilal bin Rabah ketika ada di Madinah dan
sudah lama meningggalkan tanah kelahirannya yang ia cintai pernah
menyenandungkan syair-syair untuk tanah kelahirannya: Mekah. Dan
Rasulullah pun tidak melarang apa yang dilakukan oleh Bilal. Demikian
juga yang disampaikan oleh Al Banna, bahwa mencintai tanah air, tanah
kelahiran kita adalah hal yang fitrah kita sebagai seorang manusia.
Namun prinsip yang terpenting adalah kita tidak hanya menganggap tanah
air kita hanya tanah kelahiran kita, tapi tanah air kita adalah setiap jengkal tanah yang dikumandangkan kalimat Allah. Dan kita pun wajib membela dan mempertahankannya.
Demikianlah
kiranya, namun sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah, bukanlah
jargon kering dan tidak ada penghayatan ruh disana. Tetapi pada
hakikatnya, semangat yang kita bangun adalah semangat perbaikan, dengan
semangat cinta terhdap tanah air kita. Sehingga bisa ditegakkan segala
hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat yang dilandasi rasa cinta
terhadap bangsa dan tanah air nya, itulah Nasionalisme. Sehingga akan
terjadi kesadaran bersama untuk bergerak dalam satu gerakan –Gerakan
Perbaikan-. Perbaikan dalam semua aspek kehidupan, perbaikan di sektor
moralitas, sehingga tidak ada lagi pejabat yang korupsi, perbaikan
ekonomi sehingga tercipta kesejahteraan, perbaikan di sektor hukum
sehingga tercipta supremasi hukum dan keadilan. Sekali lagi, mari kita
bangun Indonesia ini dengan cinta, dan cintailah Indonesia dengan amal.
Syamsul Bahri / Sekjend KAMMI WILAYAH JAWA TENGAH
Sumber : http://kammijateng.org/opini/read/bangun-indonesia-dengan-cinta-cintai-indonesia-dengan-amal/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar, kritik, dan saran untuk kemajuan bersama. Terima Kasih.