DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) menjadi undang-undang dalam sidang
paripurna Kamis (30/8). Kini, rakyat Yogyakarta tinggal menunggu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken undang-undang tersebut untuk
memperoleh hak-hak keistimewaannya setelah sembilan tahun
terkatung-katung. Namun, UUK DIY masih dibayangi uji materi.
Pengisian jabatan Gubernur DIY bersumber dari Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono. Wakil
Gubernur DIY bersumber dari Kadipaten Pakualam yang dipimpin Adipati
Paku Alam. Ada beberapa pasal krusial, absurd, dan kontroversial dalam
UUK DIY. Masyarakat Yogyakarta perlu menganalisis pasal per pasal, ayat
per ayat, agar tidak sampai ada keapesan pemerintah dan Keraton
Yogyakarta.
Pertama, penetapan kepala daerah harus mengikuti persyaratan.
Ditambah kepala daerah di Yogyakarta dilarang bergabung ke partai
politik. Bukan hanya itu, peraturan UUK DIY tak hanya melarang Sri
Sultan Hamengku Buwono menjadi kader partai politik, tapi dia juga
dilarang berprofesi sebagai advokat, menjadi komisioner BUMN maupun
BUMD. Bahkan kepemilikan yayasan dalam bidang apa pun tidak boleh.
Larangan gubernur dan wakil gubernur tercantum dalam Pasal 16 dan
tentang Pemerintah Daerah DIY, Bab V tentang Bentuk dan Susunan
Pemerintahan.
Sri Sultan tak boleh berparpol karena milik masyarakat DIY dan agar
tak tersekat kelompok politik tertentu sehingga sepenuhnya mengabdi bagi
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat DIY. Bagi sebagian orang,
alasan itu tentu masuk akal dan bisa diterima. Namun, sebagian melihat
aturan itu sebagai bentuk “penggerogotan” hak politis Sri Sultan
Hemengku Bowono dari panggung hasrat trayek politik walaupun Sri Sultan
masih diberi selebrasi dusta politik yang mengatakan “peluang politik
Sultan jika ingin maju sebagai calon wakil presiden terbuka.”
Masuk akal dan tak jadi soal kalau persyaratan Sri Sultan Hemengku
Bowono dilarang berprofesi sebagai advokat, menjadi komisioner BUMN
maupun BUMD, bahkan kepemilikan yayasan dalam bidang apa pun karena
persyaratan tersebut penyehat demokratisasi.
Menelisik Sejarah
Berbagai persoalan dalam pasal UUK DIY yang mensyaratkan Sultan dan
Paku Alam tak boleh menjadi anggota partai tentu merupakan kesesatan
demokrasi karena melupakan nilai-nilai historis. Kalau menelisik sejarah
atau rekam jejak Sri Sultan Hemengku Buwono IX, misalnya, tak lepas
dari politik. Partai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas
politik pada waktu itu. Dia menjadi lakon politik “wakil presiden”
sekaligus Sultan Yogyakarta dan pada akhir hidupnya ditetapkan sebagai
pahlawan nasional, namun tetap dicintai rakyatnya dan mampu berdiri di
atas semua golongan.
Kedua, UUK DIY bisa diujimaterikan kembali ke MK selama yang
sudah-sudah relatif tak jadi persoalan dan tak mengganggu kinerja Sri
Sultan dalam mengayomi dan mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat
Yogyakarta meski menjadi anggota partai politik. Jadi, ini adalah
selebrasi partai politik untuk memasukkan pasal tersebut.
Tentu ini melanggar HAM dan diskriminatif karena jabatan
presiden/gubernur/bupati adalah jabatan politik. Hampir seluruh gubernur
dan bupati maupun presiden adalah anggota, pengurus, dewan pembina, dan
ketua umum partai politik. Semua warga negara berhak memilih dan
dipilih dan berhak berpartisipasi dalam politik. Itu dijamin
undang-undang. Jelas, ini melanggar konstitusi.
Pendapat tersebut diperkuat Robert Dahl (1999). Menurut dia,
demokrasi baru bisa dikatakan berjalan baik jika dalam negara tersebut
terdapat institusi-institusi politik yang dibutuhkan demokrasi, seperti
(1) para pejabat publik yang dipilih maupun ditetapkan lewat konsensus
(permusyawaratan), (2) kebebasan berpendapat, (3) sumber informasi
alternatif (informasi tidak dimonopoli negara), (4) otonomi
asosiasional, dan (5) hak kewarganegaraan yang inklusif berpartisipasi
dalam politik, termasuk hak dipilih dan memilih.
Dengan kata lain, pada poin enam, mempertautkan dan menganulir bahwa
UUK DIY tentu tak demokratis dan melanggar konstitusi dan pilar
demokrasi sebagai warga negara bangsa.
Ketiga, kalau memang itu yang menjadi alasan Sri Sultan tak boleh
berpolitik, harus juga ada aturan ke depannya pejabat negara seperti
presiden, gubernur, wali kota/bupati tak boleh dan harus keluar dari
pengurus partai. Logika sederhananya, bukankah setiap warga negara
mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, baik hak maupun
kewajibannya?
Lebih elok lagi, menteri dan presiden tidak boleh menjadi ketua umum
partai dan pembina partai politik sebab presiden dan menteri adalah
seorang pemimpin yang diberi amanah. Mereka harus fokus pada trayek
mengurus rakyat dan mengakomodasi seluruh kehendak rakyat. Apalagi
begitu seseorang menjadi presiden, dia tak lagi milik satu partai,
golongan, atau faksi. Dia sudah menjadi milik umum dan berdiri di atas
semua kelompok.
Lalu, apa bedanya Sri Sultan Hamengku Buwono dengan gubernur,
menteri, bupati, wali kota, yang sama-sama punya hak politik? Mengapa
perlakuan UUK DIY berbeda terhadap Sri Sultan Hamengku Buwono? Sementara
aturan itu tak berlaku bagi presiden, menteri, bupati, wali kota, dan
gubernur?
Keempat, monarki, hanya keluarga istana yang bisa menjadi gubernur.
Rakyat Yogyakarta yang tetap menghendaki penetapan gubernur ketimbang
pemilihan secara langsung karena melihat fenomena demokrasi liberal yang
merusak sistem monarki dan rawan konflik. Artinya penetapan Sultan
bukan lewat pemilihan langsung tapi kosensus adalah keputusan
demokratis.
Yang jelas, hak politik Sri Sultan dikebiri melalui hasil konsensus
DPR. Mayoritas fraksi mendukung agar Sultan tak menjadi anggota partai
politik, sebagai persyaratan dan tumbal pengesahan UUK DIY.
Selain biaya yang besar dihabiskan untuk kampanye, demokrasi
pemilihan langsung merusak budaya historis kesultanan Ngayogyakarta yang
sudah lama dipertahankan dan dibangun, tak siap dengan demokrasi
liberal yang merusak nilai-nilai monarki kesultanan. Demokrasi ada
pembatasan waktu berkuasa, seperti dalam undang-undang pemilu, hanya dua
kali berturut-turut. Berbeda dengan monarki yang memiliki kekuasaan
seumur hidup dan diwariskan. Victor Silaen (2012) juga menulis, Athena
kelak mengalami kehancuran, dan demokrasi kemudian dituding sebagai
penyebabnya. Plato bahkan mempertautkan prinsip kebebasan yang niscaya
berbahaya secara politik, kesetaraan, yang bukan tidak mungkin
menimbulkan anarkisme atau ketidakteraturan.
Sistem monarki yang menjadi historis yang dipakai ratusan tahun di
Yogyakarta, baik 100 persen, separo demokrasi dan separo monarki, tak
menjadi persoalan krusial dalam bentuk sistem pemerintahan. Yang penting
bagaimana menciptakan kesejahteraan, kestabilan, dan keamanan. Pendapat
itu diperkuat oleh murid Plato yang lebih ekstrem. Ia justru
mengategorikan demokrasi, tirani, dan oligarki pada tipe pemerintahan
“yang buruk” atau menyimpang, sementara monarki, aristokrasi, dan
polities atau pemerintahan konstitusional masuk tipe pemerintahan “yang
baik”.
Winston Churchil pernah berujar, “Democracy is worst possible from of
government…” (Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan terburuk, kecuali
bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang pernah dicoba dari
waktu ke waktu).
Oleh: Pangi Syarwi
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan PP KAMMI dan Analis pada Program Pascasarjana (PPs) Fisip Universitas Indonesia
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan PP KAMMI dan Analis pada Program Pascasarjana (PPs) Fisip Universitas Indonesia
Betway Casino no deposit bonus codes - JtmHub
BalasHapusThe 강원도 출장마사지 casino games are also 안동 출장마사지 available in 천안 출장안마 casinos through Betway's mobile app for the android or iOS, depending 원주 출장샵 on the 속초 출장안마 country where you live. No deposit required