Masih lekat dalam ingatan saya kala itu. Adzan Asar berkumandang dari
Masjid At-Taqwa SMA N 1 Comal. Bukan suara “berat” ala bapak-bapak
apalagi suara lemah kakek-kakek yang sudah sadar ajalnya mendekat. Suara
itu begitu tegas. Khas anak muda yang dalam jiwanya masih bergelora
semangat berkarya. Serempak seluruh siswa baru berseragam Pramuka SMP
itu digiring ke masjid. Saya pun termasuk dalam rombongan calon penegak
itu. Keadaan ini tak hanya terjadi sesekali saja, penggiringan massal
“jama’ah” Pramuka untuk sholat fardhu berjama’ah adalah tradisi. Itu
yang saya dengar dan alami sendiri. Tak cukup sampai di situ. Ambalan WR
Supratman dan Fatmawati (nama satuan Pramuka Penegak di SMA saya)
memiliki kebiasaan mengadakan kuliah Subuh di tiap event perkemahan yang
kami selenggarakan. Meski belum sempurna, kontak langsung lawan jenis
(bersalaman) juga jarang saya jumpai kala itu. Lho kok bisa? Usut punya
usut, ROHIS telah bermain di sana. Asal tahu saja, di tangan merekalah
Pramuka kami berjaya meski baru di level provinsi. Kamilah peserta
tergiat Raimuna Daerah Jawa Tengah. Saya lupa tahun persis
penyelenggaraan event bergengsi itu.
Juga di SMA N 1 Comal, saya menjumpai sosok inspiratif lain. Kakak
kelas persis di atas saya, bisa mengawinkan pencapaian akademik dan
organisasi dengan memuaskan. Mas Bayu, begitu saya biasa memanggilnya,
adalah ketua OSIS periode 2006-2007. Dialah kontingen Olimpiade Biologi,
langganan peringkat satu paralel, dan seabrek prestasi lain. Dan
tahukah kamu? Salah satu aktifitas rutinnya ialah ikut bergabung dalam
kajian rutin ISC (Islamic Study Club), ROHIS SMA kami tercinta.
Sepanjang tak ada jadwal bentrok dengan tugasnya sebagai ketua OSIS,
tiap Sabtu siang selalu saya jumpai dia bergabung dengan jama’ah setia
ISC.
Lagi-lagi di SMA N 1 Comal, kakak kelas dua tahun di atas saya, tak
kalah hebatnya. Pirman itulah namanya. Walau diamanahi sebagai ketua
OSIS di periode 2005-2006, aktifitas halaqah dan kajian rutin ROHIS
ternyata masih dijabanin secara istiqomah. Eiitts…tak berhenti
di situ. Dia pernah pula menjadi finalis Siswa Teladan se-Jawa Tengah,
lho! Walhasil, dia menjadi salah satu kakak kelas yang paling sering
saya dekati sampai dia lulus. Berharap ketularan kepandaian dan
“keberutungan” yang sepertinya akrab dengan kesehariannya.
Yang satu ini ialah seorang akhwat satu angkatan dengan saya. Untuk
amannya, saya tidak akan menyebut nama aslinya. Sebut saja Bunga.
Ups…bukan, bukan! Anggap saja dia memiliki inisial “S”. Tak mau kalah
dengan pendahulunya, dia yang memegang salah satu amanah strategis di
ROHIS ternyata juga amat prestatif. Berdasarkan sumber terpercaya,
dialah satu-satunya siswa di kelasnya yang tidak pernah ikut remedial di
satu mata pelajaran pun. Nilainya selalu di atas rata-rata, bahkan
sering masuk kategori “memuaskan”. Tak heran kalau dia kemudian pernah
mencicipi atmosfer persaingan Olimpiade Fisika se-Jawa Tengah. Peran
keorganisasiannya pun tak hanya di ROHIS, ada satu lagi ekskul plus satu
komunitas menulis di luar kampus yang dia geluti. Dan sepanjang yang
saya dan teman-teman tahu, tak ada efek negatif yang signifikan terhadap
studinya. Jadwal halaqahnya juga (masih menurut sumber terpercaya) terjaga.
Dan yang terbaru, saya mendengar kabar valid dari teman satu angkatan
Mas Pirman. Saya biasa memanggil dia “Mbak N”. N adalah inisial nama
panggilannya. Salah satu kawan kental Mbak N, yaitu Mbak R, belum lama
ini baru kembali dari Amerika Serikat. Mbak R mendapat kesempatan
menjadi salah satu perwakilan dari Jawa Tengah dalam sebuah program
pertukaran pelajar di sana. Pernah saya melihatnya sekilas bersama para
akhwat lain di sebuah pantai sedang bercengkerama. Setidaknya, saya berhusnuzhon,
dia sepertinya berhasil memfilter hal negatif yang mungkin dia jumpai
di kultur negeri Paman Sam. Beberapa kali saya “memergoki” status,
komentar, dan aktifitas lain di dunia maya juga masih menunjukkan
keistiqomahannya. Dan tahukah kamu? Dialah salah satu alumni ROHIS kami
yang paling antusias ketika mengetahui ROHIS di SMA tercinta masih
eksis. Dia pula yang vokal menyuarakan kata setuju saat saya dan
beberapa teman menginisiasi silaturahim alumni ROHIS pasca Idul Fitri
kemarin.
Itulah beberapa profil nyata mereka yang saya kenal sebagai didikan ROHIS. Dalam penilaian saya, minimal ada tiga keywords
yang cocok disematkan kepada mereka: agamis, prestatif, dan
kontributif. Apa yang mereka dapatkan di ROHIS dan aktifitas lainnya
seakan menjadi bahan bakar kelas wahid. Dengan bahan bakar itu mereka
mampu berubah menjadi sosok-sosok luar biasa. Malu memperlihatkan
identitas sebagai Muslim seperti tak pernah ada dalam kamus mereka.
Kegigihan menggali ilmu, mengamalkan, dan mendakwahkan dengan cara
mereka masing-masing juga patut diacungi jempol. Prestasi selaku
akademisi dan aktifis organisasi bak makanan sehari-hari, sudah biasa
dijumpai. Dan terakhir, kontribusi dan kebermanfaatan mereka bagi orang
di sekelilingnya tak bisa diragukan. Ketiadaannya menjadi satu hal yang
amat dibenci orang sekitarnya. Sebaliknya, keberadaanya dalam
membersamai rekan-rekannya adalah spirit tersendiri yang dampaknya bisa
menggairahkan dalam tiap menempuh aktifitas.
Lalu, mungkinkah ROHIS menjadi sarang TERORIS? Pasti mereka yang
memiliki akal jernih yang bebas polusi akan dengan mudah menjawab
pertanyaan retoris ini. Dan ini baru secuil potongan kecil puzzle kisah nyata dan pribadi alumni ROHIS di negeri ini.
Sumber http://kammimadani.wordpress.com/2012/09/15/rohis-sarang-teroris/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar, kritik, dan saran untuk kemajuan bersama. Terima Kasih.